OpiniRagam

Media Sosial Bukan Tempat Curhat Masalah Negara

33
×

Media Sosial Bukan Tempat Curhat Masalah Negara

Sebarkan artikel ini
xr:d:DAFT51Df3PY:3,j:43195671715,t:22120515

Media sosial saat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kita update status, unggah foto, menyuarakan pendapat, bahkan ikut demo digital lewat tagar. Semua orang bisa berbicara, semua hal bisa jadi bahan diskusi. Namun, ada satu tren yang menurut saya makin mengkhawatirkan: terlalu banyak orang menjadikan media sosial sebagai tempat curhat masalah negara—tanpa arah, tanpa solusi, dan kadang tanpa data yang benar.

Bukan berarti saya anti-kritik. Kritik itu penting. Tapi kritik yang membangun sangat berbeda dengan caci maki dan pesimisme. Banyak orang, bahkan tokoh publik, dengan mudah mengunggah postingan bernada marah, menyalahkan pemerintah, menyindir pejabat, atau menyebar informasi yang belum tentu benar. Akibatnya, yang tercipta bukan kesadaran kolektif, tapi kebisingan dan polarisasi.

Saat ini, banyak masalah serius yang harus kita hadapi bersama—ekonomi yang belum pulih, perubahan iklim, kesenjangan pendidikan, dan sebagainya. Tapi kalau setiap kali ada masalah langsung dibawa ke media sosial hanya untuk marah-marah, bagaimana kita bisa menemukan jalan keluar?

Media sosial semestinya menjadi ruang kolaborasi, bukan ruang kemarahan. Jika ada kritik terhadap kebijakan, mari ajukan dengan bahasa yang cerdas dan data yang kuat. Kalau ada keluhan terhadap layanan publik, sampaikan ke kanal resmi dan ajak diskusi secara santun. Kita bisa membuat thread yang edukatif, menyebarkan petisi yang masuk akal, atau memulai kampanye yang berdampak nyata.

Saya sering berpikir, bagaimana jika energi yang kita pakai untuk mengeluh di media sosial, kita ubah menjadi aksi nyata di komunitas? Kita bisa mulai dari hal kecil: gotong royong, edukasi digital, bantu UMKM sekitar, atau ajak teman berdiskusi sehat.

Kita tidak bisa mengandalkan pemerintah saja untuk memperbaiki keadaan. Masyarakat juga punya peran. Dan peran itu tidak akan maksimal kalau hanya berhenti di layar ponsel, sambil menyalahkan semua hal tanpa mau terlibat dalam perubahan.

Mari jadikan media sosial sebagai alat perubahan, bukan tempat pelampiasan. Karena perubahan tidak lahir dari kebisingan, tapi dari kesadaran, kolaborasi, dan aksi nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *